FF : Let The Fate Lead Me (Chapter 4)

Let the fate lead me poster

Tittle : Let The Fate Lead Me

Author : Cicil

Cast : exo’s Luhan and GG’s Jessica

Other cast : exo and gg members

Rating : G

Genre : romance

Disclaimer : all belong to GOD

Summary :

Setiap hidup pasti ada masalah ‘kan? Tapi mengapa aku terlalu takut bahkan ketika cinta itu belum kokoh dan berakar?

HAPPY READING ya 🙂

—-,———

 

Fajar menyingsing ketika gadis itu berkilat dalam tidur hangatnya. Matanya berkedip-kedip belum siap menerima cahaya baru dan tangannya direnggangkan sekedar usaha melepas kantuk. Ia terduduk di ranjang, menyaksikan si jam kecil bentuk menara menara Eiffel berdetak. Tulisan ‘8.27 am’ tertera mengisi bagian kosongnya.

Jessica sadar akhir-akhir ini –semenjak janji ke lotte world jam sepuluh pagi hari minggu dengan Luhan— ia lebih sulit untuk tidur dan kelewat mudah untuk bangun pagi. Siapa yang tak tahu? Jessica bahkan terlalu malas beranjak dari kasur dulu.

“Sica-ya!!”

Ne, eomma!!” Jessica memutar otaknya saat heningnya suasana tanpa suara sahutan ibunya lagi. Mungkin bingung karena anak gadis pertamanya itu sudah bangun sepagi ini.

Jessica mendengar derap langkah kaki di luar pintu kamarnya. Suara pegangan pintu terbuka, kayu penghalang itu terdorong masuk. Memperlihatkan sosok ibu.

Gadis paras cantik itu menggunakan sorot matanya, bertanya ‘ada apa?’

Nyonya Jung terlihat berpikir sejenak, “Ehmm… sebaiknyakau turun sekarang, sarapan sudah siap. Dan…. Ada yang perlu Appa bicarakan.”

Setelah itu ia melihat ibunya menutup pintu kembali perlahan. Kakinya kemudian memasuki sandal tipis, langkahnya menuju kamar mandi dengan sehelai handuk telah terselip di lengan kirinya.

Jessica mengunyah roti stroberi-nya lamat. Tanpa memperdulikan tatapan appa yang berubah lebih serius dari biasanya. “Sica-ya,”

“Wae?”

“Apa sekolah barumu menyenangkan?”

“Tentu saja, masih ada Taeyeon dan Yoona di sampingku.” Tuang Jung mengangguk-angguk mengerti. Ia dan Nyonya Jung saling bertatapan tanpa arti. Tak lama, Nyonya Jung memberikan isyarat melalui anggukannya penuh keyakinan.

“Kau kenal dengan murid bernama Xi Luhan?” Jessica menaruh rotinya kasar di piring menyebabkan dentuman beling dengan meja kaca. “Xi Luhan?”

“Iya, murid kelas dua.” Mendadak jantungnya seperti lompat dari singah. Ayahnya mengenal cowok itu? Bagaimana bisa? Apalagi menjelang siang nanti ia akan pergi jalan bersama Luhan.

“Ooo… yang namanya Luhan? sepertinya aku tahu.” jawabnya sambil memutarkan iris dan pura-pura berpikir. Alasannya ia tak mau irisnya bertemu langsung dengan Tuan Jung, karena darisanalah bisa terlihat kalau ia berbohong.

“Bisakah… kamu menjauhi anak itu?” Jessica berhenti memainkan irisnya, digantikan dengat satuan kerut di dahinya. “Ap-apa?”

“Kamu tidak mengenalnya kan? Kalau begitu jangan pernah berkenalan dengannya dalam rangka apapun, apalagi mendekat. Appa tidak suka.” Terlalu semu untuk dipercaya oleh Jessica. Perasaannya belum kokoh, dan cinta itu belum berakar sepenuhnya.

Menurut takdir, Tuan Jung telah memilih waktu yang tepat sebelum putri sulungnya menggapai kindahan hidup bersama Luhan. Dan Jessica termenung dengan berbagai pertanyaan menyerbu pikirannya.

“Memangnya kenapa? Appa punya masalah dengan anak itu?” bersikap pura-pura tidak kenal memang susah. “Keluarga Xi pemilik sebuah rumah sakit besar di sini, dengan berbagai cabangnya yang merajalela. Appa pernah bertemu dengan Tuan Xi, pemilik sekaligus yang mengurus perkembangannya—“

“Lalu masalahnya?”

“Masalahnya bukan ia anak pemilik rumah sakit. Tapi, Tuan Xi adalah yang menghancurkan perusahaan kita sebelumnya.”

Okay, Jessica ingat leluhur ayahnya pernah membangun rumah sakit di Korea yang tiba-tiba bangkrut seperti diinjak-injak kaki dan tak berbekas jejaknya. Pilihan terakhir adalah mencari kerja ke luar negeri. Mendirikan perusahaan dalam bidang baru dan berhasil. Mereka sekeluarga kembali ke Seoul saat usia Jessica sepuluh tahun.

“Apa.. ini semacam dendam?” Tuan Jung buru-buru menggeleng pasti, “Tidak,  presetan hal itu kudengar hubungan pernikahan keluarganya juga kurang baik. Bahkan seluruh wiraswastawan besar juga tahu kalau Tuan Xi pernah berselingkuh.”

Jessica menghabiskan rotinya secepat yang ia mampu. Meneguk susunya terburu-buru, kemudian mengelap bibirnya dengan tissue. “Sudahlah, appa. Jangan bergosip, ini masih pagi. Aku mempunyai acara.” Ia berdiri dan melaju ke kamarnya di lantai dua.

Meninggalkan appa dan eomma yang saling bertatap datar.

—–,———

 

Detik demi detik, berganti menit, hingga jarum pendek di jam dinding bergerak perlahan. Akhirnya ia menunjuk angka ‘10’ juga. Jessica mengetuk-ngetuk jarinya pada meja kafe sambil bergantian melirik arloji yang tersemat di tangannya.

Luhan bahkan tak menampakan batang hidungnya sedikitpun dari balik pintu kafe. Padahal cowok itu yang membuat janji, tapi dia juga yang terlambat.

Jessica membuka tasnya, mengangkat telefon dari nomor tak dikenalnya.

“Jessica?”

“Luhan?”

“Ya, ini aku.”

“Bagaimana kau bisa tahu nomorku?”

“Itu bukan urusan penting. Intinya aku akan terlambat, maaf. Aku bangun kesiangan tadi.” Jessica mendengar pria itu tertawa sehambar yang pernah ia dengar, bahkan tak secuil perasaan geli menyelubung perutnya.

“Aku dalam perjalanan, sebentar lagi sampai.”

Klik

Ia menutup telefonnya ragu. Apakah ia melakukan kesalahan? Dengan memaksa tetap bertemu dengan Luhan padahal jelas-jelas hampir satu jam yang lalu ayahnya melarang ia berkenalan dengan keluarga Xi. Hanya ‘berkenalan’ terlebih mereka sudah membuat janji pula, itu artinya lebih dari sekedar ‘berkenalan’

Lonceng tanda pengunjung datang berdentum dan Jessica terlalu takut untuk mengetahui apa itu Luhan atau tidak. Yang ia lakukan hanya menunduk sambil pura-pura asik dengan handphone-nya.

“Hai,” benar kan? Itu suara Luhan, dugaannya kelewat pasti dan instingnya amat tepat. Jessica mengangkat wajah melihat Luhan tengah menyeruput moccacino lattenya tanpa permisi. Laki-laki itu terlihat habis berlari?

“Kau?”

“Apa? aku? Kenapa?” Jessica diam belum juga menemukan pertanyaan yang cocok.

“Ohya, mobilnya terparkir jauh sekali dari kafe. Jadi aku harus berlari.” Jessica membulatkan mulutnya sempurna, “Baiklah, ayo!” ia beranjak dari kursi dan menyantelkan tas selempang putihnya di bahu kanan. “Tunggu,” gadis itu menoleh, “Minumnya… sudah di bayar?”

ia mencibir tertawa. “Tentu saja,” dengan senyum terindah yang pernah ditangkap Luhan, gadis itu berlalu lebih dahulu darinya, mendorong pintu keluar kafe sampai mereka berjalan bersampingan.

“Omong-omong, sudah lama menunggu?” Luhan melihat gadis di sampingnya menggeleng pelan, namun sedetik kemudian mengangguk pasti. Ditambah wajahnya yang datar dibubuhi sepercik raut serius.”Jadi?” ia menunggu jawaban lisan. “lamaaaaa benar-benar lamaaaaaaa sekaaalliiiiiiii,”

“Hei! Tidak usah berlebihan, mengucapkan kata lama saja sampai bernyanyi.” Laki-laki paras tampan itu melipat kedua tangannya di dada. “Aku tidak bernyanyi!”

“Lalu apa?”

“Pokoknya bukan menyanyi.” Gadis itu menggelarkan smirk halusnya pada Luhan. “Bersenandung?”

“Itu lebih tidak cocok lagi, bodoh.” Luhan berhenti secara mendadak, mendekatkan wajahnya dengan Jessica hingga tersisa berberapa sentimeter. “Apa kau bilang?”

“Bodoh, kenapa? Ada yang salah?”

“Tentu saja salah besar. Kau bilang aku bodoh? Kalau aku bodoh lalu kau apa?”

“Aku pintar,” Jessica mengembangkan senyum terbangga yang ia miliki sambil berjalan meninggalkan laki-laki di sampingnya yang masih tergugu diam. “Cih, pintar dari sudut mananya dia?” Laki-laki itu mengejar langkah Jessica, menyetarakan gerak kaki mereka.

 

—-,———

 

“Huuaaaaaaaaaa!!!!!!!!” Keduanya beteriak kompak ketika kereta roller coaster terjun bagai bintang jatuh. Mereka tertawa terbahak-bahak bersama hingga saling mencibir tentang keangkuhan masing-masing.

Luhan berkali-kali kalah adu mulut dengan gadis bawel itu. Menurutnya sekarang, Jessica bukan lagi perempuan anggun dengan tindakan terpandangnya di sekolah, tapi gadis banyak bicara dan suka berteriak, terlebih gadis itu juga gemar melebihkan nada biacaranya.

Ia bohong kalau ia bilang batinnya tak butuh gadis kekanak-kanakan dan periang seperti Jessica. Ada sesuatu yang membuatnya bisa melupakan masalah itu amat langka, selain sepak bola tentunya. Ia mengharapkan gadis ceria itu, dari segala sisi manapun. Tak terkecuali sifat menyebalkannya –banyak bicara—

Sosok Jessica yang seperti manusia es terlihat mencair ketika gadis itu dengan imutnya melahap es krim rasa cokelat-mint. Luhan tertawa ketika ia diteriaki kurang ajar karena sengaja menuangkan garam di atas es krim Jessica.

Ia berhenti tertawa seketika saat saus sambal mendominasi warna vanilla di tangannya. Ia mengeluarkan sorot amarah tapi Jessica seakan tak tergoncang akan itu. Ia menarik Jessica menaiki kereta gantung dan meninggalkan es krim utuh mereka berdua di bangku begitu saja.

Hingga mentari bersembunyi di balik awan yang menggelap, sampai setengah bulan terpandang begitu kecil di langit luas. Hingga Jessica mengatuk dan tertidur di sebelah bangku kemudi. Di mana Luhan mengguncangkan tubuhnya karena mereka telah sampai di depan rumah keluarga Jung.

Jessica melambaikan tangan penuh kemalasan, menghusap-usap matanya yang memerah karena kantuk. Ia menutup pintu gerbang logam, segera mencari tempat tidur ternyaman, terdekat. Ia mengabaikan omelan Nyonya Jung karena pulang larut, dan tatapan menyebalkan soojung di sebelah kamarnya.

 

—-,———

 

Pagi  menerpa kaca bening di kamar Jessica, hari yang paling ia benci kunjung tiba. Senin. Terlalu malas bangun lebih cepat, rasanya waktu tidak bisa mengerti ketika Jessica berusaha mematikan bunyi alaramnya paksa. Lewat nyawa yang belum terkumpul, ia berlari mengambil handuk dan melesat hilang di balik kamar mandi.

“Jessica-ssi,”

Ne, appa.”

“Pergi bersama siapa kau semalam?”

“Dengan Lu—“ matanya terbelalak, ia lebih gugup dari biasanya ketika salah berucap. Menegapkan badanya dan kembali mengulang kalimatnya. “Bersama Yoona, kemarin kami bermain seharian di lotte world.”

Tuan Jung mengangguk-angguk mengerti diselingi lengosan Jessica. “Cepat habiskan sarapan kalian, nanti terlambat.” Titah Nyonya Jung menyiapkan supir untuk kedua putrinya.

 

—-,———

Luhan melangkah enggan menuruni tangga rumahnya, terlihat Tuan Xi duduk di ruang tamu sambil membaca koran pagi. Seperti kebanyakan pekerjaan ayah ketika matahari baru muncul. Laki-laki itu melewati sang ayah tanpa memberi salam atau menyapa.

Ia membenarkan tas ransel campuran warna blue dazzle dengan hitam itu. “Luhan,” laki-laki itu mengerem kakinya seketika. Tanpa menoleh menghadap Tuan Xi, ia hanya terpaku pada posisinya.

“Bahkan kau lebih kurang ajar dari sebelumnya ya? Apa ayahmu ini transparah hmn?”

Braak

Suara bantingan kasar koran pada meja kaca menggetarkan hatinya. Ia tidak punya jawaban untuk menjawab. “Hei! Ibumu sudah ‘minggat’ dari rumah ini karena tidak betah, apa kau mau mengikutinya?”

Kepalan sebesar tinju menyebabkan telapak tangannya berkeringat, menahan diri itu terlalu sulit ternyata. Luhan membalikan badannya, kedua pria bermarga Xi itu berhadapan luruh setajam tatapan mereka.

“Aku memang tidak tahan tinggal di sini. Tapi appa benar-benar mau mengusirku? Lalu siapa yang mengurus perusahaanmu?” Luhan berusaha menghilangkan getaran suaranya. Pria paruh baya itu benar-benar naik darah. Ia melangkah cepat mendekati anaknya.

Plak

Satu tamparan kasar membuat Luhan menghusap-usap pipi kirinya pelan. “Kau kurang ajar!”

Tuan Xi berlalu dari pandangan Luhan, menghilang di balik sudut mata kelam laki-laki paras tampan itu. Ia menurunkan tangannya dari wajah kemudian tertawa pelan. Seperti mencibir dirinya sendiri.

Tidak ingin membuang waktu begitu lama hanya untuk merenungkan sebuah tamparan, Luhan berbalik cepat kea rah pintu keluar rumahnya. Menaiki mobil sport warna putih favoritnya, melaju sekencang angin ibarat peluru menembus udara.

 

—-,———

 

Jessica bertumpu dagu di mejanya. Enggan ikut bergosip bersama yang lain di belakang sana. Terlebih merugikan karena ia mendapat tempat duduk di tengah-tengah. Tidak bisa melihat lapangan, tidak bisa menerawang langit. Lalu apa yang harus dilakukan?

Suatu hal terlalu langka jika mendapati Luhan datang ke sekolah pagi-pagi seperti dirinya.

Ketika bunyi masuk sekolah hampir berbunyi, ia melihat siluet Luhan melewati pintu kelasnya terburu-buru. Seperti berlari mungkin?

Saat Siang datang, Jessica kembali duduk di bangku penonton dan menyaksikan latihan anak-anak ekstrakulikuler sepak bola tengah berlatih. Termasuk Luhan di sana. Tapi ia melihat mata kelam itu menjadi lebih kelam dari biasanya, dan wajahnya semurung awan hujan. Ada yang terjadi pasti.

TBC

Yuk author note, makasih yang udah mau baca yaa. Dan di tengah-tengah ujian semester aku ngetik ff -__- terlalu pusing sama pelajaran. Hehe, tolong dimaklumi segala jenis typo ya soalnya ga sempet re-view ulang.

8 thoughts on “FF : Let The Fate Lead Me (Chapter 4)

  1. Kerennn kata2nya makin kerennnn
    Ituu bapaknya luhan napa sh marah2 mlu -,- bkin emosi saya aja hahahahahaha 😀
    Aduhhh klo keluarga jung tau klo sica deket sma luhan gmana yaa??
    Aduhhh selamat ulangan dh thor gk ush dipaksain buat nlis ff cepet jga gk apa2 asalkan dilanjut aja udah cukup#eaaa
    Ok ku tnggu next chapter…FIGHTING…..

  2. jessica gk boleh dkat-dkat dngan luhan..???!! jdi gmana ntar hubunganny ..?? dn jga ntar luhan gk pnya siapa-siapa lgi yg bisa ngebuat hatiny ceria T_T
    dn jga kasian luhan dtampar., tega bnget ayahny T_T

  3. hihh..bpknya luhan tuu knpa sihh..??.gilakk kasar bgtt tuu bpkk..ckckc,.
    jahat juga sihh..kan dia tega ngebuat rumah sakit ayah sica berantakan,.
    luhan..kasian bgt,.aku tau yg kamu rasakan kok..
    yah bakal ada masalah deh ttng hub lusica,.

Leave a reply to sxadaitsfuntastic Cancel reply